Aku selalu datang pada saat yang tepat, saat dia membutuhkanku. Karena itulah aku datang.
Keadaan kamar masih terlihat sama. Mungkin yang berubah cuma tumpukan buku di bawah kursi itu yang semakin tinggi.
Tiba-tiba alunan sebuah lagu terdengar dan disertai getaran yang cukup menganggu. Sebuah telepon genggam berwarna merah muda yang berada di sebuah tas di kaki tempat tidur itu berbunyi beberapa kali tapi pemiliknya yang sedang berbaring tidak menunjukkan tindakan apapun untuk menjawabnya. Hanya matanya yang bersinar di kegelapan itu yang menunjukkan sebuah ketertarikannya pada kedatanganku. Dia menggumamkan namaku lemah dan dengan nafas yang berat.
“Kamu sakit?” tanyaku
Aku kaget. Kedatanganku memang selalu di saat yang tepat, saat dia membutuhkanku. Tapi biasanya saat dia sedang punya masalah dengan dunia akademik atau hubungannya dengan teman-temannya atau juga hubungannya dengan pemuda yang telah dia pilih dan menyebabkan perpisahan yang menyakitkan bagiku, bukan saat dia sakit!
Dia mengangguk setelah beberapa lama. Aku langsung menghampirinya, ikut berbaring disebelahnya, pelan-pelan tanpa menganggu posisinya.
Dia bergerak, tampak sangat memaksakan badannya untuk mendekatiku. Dia menyandarkan kepalanya ke bahuku, mencari kenyamanan di tengah suhu tubuhnya yang tinggi. Aku mengangkat tangan kiriku untuk menyambutnya ke pelukanku. Dengan jarak yang begitu dekat, aku tak bias menahan diri untuk mencium bibirnya. Panasnya jelas kurasakan.
Dia menerima pelukan dan ciuman itu tapi terlalu lemah untuk membalasnya. Lalu mata itu tertutu dan digantikan oleh nafas yang statis. Dia tertidur dipelukanku.
Tertidur setelah mencoba bertahan melawan badannya sendiri.
Tertidur setelah berhasil mengabaikan telepon genggamnya yang berbunyi tiap menit.
Tertidur sangat nyenyak.
Tertidur bersamaku.
Kurapatkan selimut tipis merah yang merekam wangi badanku. Kueratkan pelukanku lalu berbisik . .
Discourse Analysis’ class
241012
Posting Komentar