Jam setengah enam pas. Baiklah.
Andine menghela nafas lalu kembali menyembunyikan jam tangan hitamnya dibalik jaket abu-abu yang dipakainya dan mulai melangkah meninggalkan rumah.
Pasti tepat waktu koq. Pasti langsung dapet angkot koq. Pasti bisa nyampe kesana jam enam pas, pikir Andine dengan nafas berburu karena sibuk melangkah. Langkahnya cepat, sangat cepat sampai meninggalkan ibu-ibu yang bersiap berbelanja sayur di warung terdekat. Langkah Andine agak tertahan dengan beberapa siswa sekolah dasar yang berkumpul dan tidak menyisakan sedikit ruang pun untuk langkah Andine yang panjang dan lebar.
Ini masih jam setengah enam, tapi kayaknya matahari lagi rajin ya. Sinarnya udah menembus tiap jendela, bikin anak sekolah siap dan berangkat pagi banget. Padahal dulu, setengah enam itu masih gelap gulita.
Sekumpulan siswa sekolah dasar itu akhirnya berlalu dan Andine langsung tancap gas lagi. Setelah melewatkan lima menit perjalanan kaki, Andine sampai ke pinggir jalan raya yang sudah penuh dengan bunyi klanson. Disana sebuah angkutan umum berwarna coklat sudah menunggu dan melambai-lambai sok akrab pada Andine. Andine tidak membalasnya, dia sibuk mengatur badan dan barang bawaannya untuk bisa duduk dengan nyaman di angkot yang terlihat tua dan agak kotor itu.
Andine kembali melirik jam tangannya dan harap-harap cemas dengan keadaan jalan raya Bandung yang tidak tertebak setiap harinya. Andine berusaha untuk duduk nyaman mungkin tapi keadaan jalan yang berlubang dan sedikit tergenang air sisa hujan semalam tidak membiarkannya. Mata Andine mendelik keluar angkot. Kenapa lubangnya jadi banyak gini? Rasanya jalan ini baru dibenerin dua bulan kemaren.
Caci maki Andine dihentikan segerombolan ibu-ibu yang naik dan turun di daerah pasar. Setelah itu angkot ngetem untuk beberapa saat. Itu benar-benar membuat Andine frustasi. Dia tak hentinya melirik jam tangan hitamnya. Pengen nangis rasanya, pikir Andine sampe menutup muka dengan tangannya.
Semua itu tidak berlebihan rasanya. Setiap paginya, Andine harus berjuang selama dua jam, membelah jalanan kota Bandung untuk mencapai kampusnya nun jauh disana. Rumahnya ada di Bandung Timur, sementara kampusnya ada di Bandung Utara. Dengan perilaku supir yang berbeda-beda setiap harinya, Andine harus pintar-pintar mengatur jam.
Matahari sudah bersinar sangat terang ketika Andine akhirnya turun setelah perempatan yang lampu merah yang lamanya seabad. Panas dan keringetan udah pasti. Tapi Andine bersyukur dia tiba tepat jam enam disana. Dia menarik-narik kerah jaketnya sedikit, memberi ruang untuk udara masuk tapi tidak ada perubahan besar yang terasa. Sudahlah, Dine. Andine mencoba menghibur dirinya sendiri dan melangkahkan kakinya selebar dan secepat mungkin ke arah angkot berwarna biru dan kuning yang ngetem dengan keadaan kosong melompong.
Yap, Andine harus naik dua angkot yang berbeda untuk mencapai kampus tercintanya. Perjalanan keduanya ini memakan waktu sekitar sejam. Andine tidak tahu harus senang karena dia bisa tidur atau kesal karena kakinya akan terasa sangat pegal. Tapi yang Andine pikirkan saat ini adalah naik angkot, ambil posisi di ujung jok panjang dan tidur. Sinar matahari tidak terlalu terang didalam angkot sehingga Andine bisa langsung merasa mengantuk dan siap terlelap. Apalagi angkot langsung tancap gas, pelan namun pasti, saat kepala Andine menyandar ke kaca belakang.
Akhirnya . ., pikir Andine lega. Senyum melengkuk dibibirnya dan membuatnya terlihat tidur sangat nyenyak dan nyaman. Di angkot aja bisa tidur, gimana di hotel bintang lima.
“Neng, tiasa tujuh eta neng”
Andine terbangun dan agak gelagapan. Para penumpang baru dengan bawaan mereka yang tidak sedikit mendesaknya sampai benar-benar menempel pada kaca belakang. Rata-rata mereka memilih jok yang tidak tersinari matahari. Huh, percuma. Entar juga pasti sinarnya berbalik kesana, kata Andine dalam hati dan mencoba memposisikan badannya senyaman mungkin.
Benar saja. Saat angkot yang penuh sesak itu berbelok ke Jalan Jakarta, sinar matahari berpindah tempat tapi sialnya malah menyorot ke wajah Andine dan membuatnya terbangun. Andine menghela nafas berat. Cuaca benar-benar panas dan lembab, sungguh tidak nyaman. Ditambah lagi dengan jalanan yang super padat ini. Jalan Jakarta benar-benar terasa seperti kota Jakarta yang sesungguhnya!
Para penumpang yang didominasi oleh perempuan, mulai mengeluarkan kipas yang bisa memberi angin segar ditengah polusi itu. Andine memandang mereka dengan iri. Ingin rasanya mengikat rambut sebahunya jadi ekor kuda dan membuang jauh-jauh jaket abu-abu tebalnya. Tapi susah sekali mendapatkan semuanya. Angkot benar-benar padat, menolehpun tak bisa! Andine harus pasrah duduk diam layaknya patung dan menahan lututnya yang mulai pegal.
Tenang, Dine, tenang. Andine menarik nafas, membuangnya perlahan dan melakukannya beberapa kali. Bentar lagi angkotnya lewat Jalan Cendana dan disana banyak pohon rindang yang bakal menghapus semua rasa panas ini secara ajaib. Andine lalu tersenyum untuk dirinya sendiri. Dia tak peduli sedikitpun dengan tatapan aneh orang lain.
Ketika angkot yang masih penuh sesak itu berbelok ke Jalan Cendana, mau tak mau mata dan mulut Andine ternganga lebar. Jalan Cendana yang selama ini dihiasi pohon besar dikiri kanannya dan jalan yang sangat kosong, jadi terlihat sangat terang penuh bunyi klakson. Seorang perempuan dengan make up tebal berbicara pada temannya, memberitahu bahwa di sana sedang ada menebangan pohon besar-besaran. Disamping usia pohon yang sudah tua, angin kencang yang menghantam seluruh kawasan Bandung menjadi alasannya.
Mulut Andine masih ternganga saat melewati tumpukan kayu dan daun. Hati sedih sekaligus marah. Kenapa ditebang sekarang? Kenapa ditebang semuanya? Kenapa ditebang sampe abis gitu? Apa mereka tidak mengenal ilmu biologi atau pemanasan global yang udah jadi isu basi? Apa mereka sanggup bertanggung jawab menanam pohon pengganti dan merawatnya sampe menyerupai pohon rindang mereka tebas abis?
Andine harus merelakan wajah dan badannya untuk banjir keringat disepanjang jalan Merdeka. Rambutnya sudah sangat basah dan wajahnya sudah terlihat sangat lelah. Padahal dia sama sekali belum mendengarkan satu kuliah pun. Penumpang mulai turun satu persatu yang memberi sedikit ruang untuk Andine untuk membuka dua kancing teratas jaket abu-abunya. Itu juga memberi Andine kesempatan untuk melirik jam tangannya.
“Setengah tujuh . .” ucap Andine pelan
Dia tak tahu harus senang atau cemas. Setengah jam lagi dia harus sudah sampe kampus tapi kondisi jalanan yang akan dilaluinya nanti masih berupa misteri.
Entah benar atau cuma perasaan Andine saja, sepertinya ada yang mendengarkan rasa cemas telat dan kekesalannya di jalan Cendana tadi. Mendadak angkot melaju cepat tapi masih dalam kecepatan normal dan aman. Angkot melewati jalanan yang kosong dengan keadaan yang juga kosong. Hanya ada supir, seorang penumpang yang duduk didepan, tiga orang duduk di belakang termasuk Andine. Lalu tidak ada yang bisa menandingi nyamannya melewati jalan Cipaganti. Jalanannya rata tanpa lubang sedikitpun, pohon-pohonnya besar dan rindang, daun-daun kekuningan berjatuhan tertiup angin dan membuat Andine berasa sedang menikmati musim gugur di negeri orang dan perlahan keringat dan rasa gerahnya hilang tak berbekas. Akhirnya Andine merasa nyaman dan tersenyum senang.
Jejeran rumah di jalan Cipaganti tiba-tiba menjadi perhatian Andine. Semua rumah itu terlihat sangat mewah, berarsitektur tinggi dan punya pos satpam sendiri. Siapapun yang melihat pasti ingin tinggal di salah satu rumah tersebut. Entah yang bergaya jadul dengan teras membulat didepannya, bergaya Eropa dengan ukiran-ukiran patungnya atau hanya bergaya minimalis seperti rumah nomor 49 itu. Uh, apakah kenyamanan dari alam juga hanya berlaku untuk orang-orang berduit saja?
Andine tidak punya waktu untuk memikirkannya lebih lanjut karena angin sepoi-sepoi benar-benar membuainya. Dia mempererat pelukannya pada tas besar yang dia bawa, menyandarkan kepala ke kaca belakang angkot dan mulai memejamkan mata. Andine seperti terbius dan tertidur.
Bunyi klakson dan sinar matahari yang sepanas jam dua belas membangunkan Andine. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya dengan kebingungan. Matanya terasa berat tapi dia harus memaksakan diri untuk mengenali jalan yang dilewatinya. Ini jalan Setiabudhi! Pikirnya kaget saat melihat logo universitasnya yang begitu gagah dan berkilau. Tanpa buang waktu, Andine langsung melancarkan kalimat paling sakti di dunia angkot.
“Kiri, kiri!”
Angkot yang tinggal berisi dia dan supir angkot langsung menepi. Andine susah payah merogoh sakunya, menyari empat lembar ribuan dan memberikannya ke supir angkot. Angkot itu langsung melaju lagi meninggalkan Andine yang masih kebingungan. Yang dia lakukan selanjutnya adalah melihat jam dan waktu tinggal tiga menit lagi menuju jam tujuh.
Andine langsung saja berlari, menapaki jalan yang agak menanjak di lingkungan kampusnya dan sampai di lobby fakultasnya dengan nafas terengah-engah. Ingin rasanya Andine mengambil air mineral yang jadi beban terberat di tasnya tapi dia masih harus menaiki tangga menuju lantai empat. Matanya tertuju pada dua lift di lobby yang masih saja padat peminat padahal ini sudah jam tujuh pas. Mereka masih memikirkan rasa cape ditengah-tengah keadaan darurat alias telat seperti ini?, pikir Andine tak percaya.
Setelah mengerahkan seluruh tenaga untuk sampai di lantai empat, kini Andine kembali berlari menuju kelasnya yang berada diujung. Yes, dosennya belum datang! Barulah Andine bisa benar-benar lega. Dia berjalan perlahan, menduduki kursi dibarisan kedua dan meminum air dengan santai. Jaket abu-abu yang bau asap kendaraan itu juga dilepasnya dan menyisakan kemeja putih yang sangat rapi.
Beberapa saat kemudian, Andine baru sadar dia sudah duduk selama setengah jam lebih tapi dosennya tak kunjung datang. Kemudian sang ketua kelas maju kedepan dan mengumumkan bahwa kuliahnya batal karena dosennya ada keperluan mendadak. Pengumuman itu disambut sorak sorai kelas. Mereka memang sudah malas datang ke kelas ini. Disamping waktunya jam tujuh, ini juga satu-satunya kelas di hari itu.
Andine terhenyak di kursi, tak percaya. Telinganya dipenuhi rencana teman sekelasnya yang ingin kembali tidur di kostan masing-masing. Sementara itu Andine tidak punya pilihan lain selain pulang lagi. Dia akan melewati jalan yang sama persis seperti tadi, bahkan lebih parah. Andine memakai jaketnya lagi dan langsung melirik jam tangannya.
Sekarang jam delapan pas. Baiklah.
Dhyn Hanarun~
*cerpen ini pernah diikutsertakan dalam Lomba Cerpen Mahasiswa Formica 2012
Posting Komentar